26 Mei 2011

Berbakti Kepada Orang Tua

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allâh Ta'ala melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain merupakan salah satu masalah penting dalam Islam.

Di dalam al Qur`an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allâh Ta'ala memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya, seperti tersurat dalam surat al Isra` ayat 23-24 :

Dan Rabb-mu telah memerintahkan,
supaya kalian jangan beribadah melainkan hanya kepadaNya,
dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.
Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya
telah berusia lanjut di sisimu (dalam pemeliharaanmu, Red),
maka janganlah katakan kepada keduanya "ah"
dan janganlah kamu membentak keduanya.
Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih-sayang.
Dan katakanlah: "Wahai Rabb-ku, sayangilah keduanya,
sebagaimana keduanya menyayangiku sewaktu kecil".

(QS al Isra`/17 : 23-24)

Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa` ayat 36 :

Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu,
dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
kepada kaum kerabat, kepada anak-anak yatim, kepada orang-orang miskin,
kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahaya.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

(QS an-Nisaa` : 36)

Dalam surat al Ankabut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir, kalau mereka mengajak kepada kekafiran :

Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebajikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepadaKu-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(QS al-'Akabut : 8)

BERBUAT BAIK DAN DURHAKA KEPADA KEDUA ORANGTUA

Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita, dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya.

Menurut Ibnu 'Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syariat), dan harus mengikuti apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allâh Ta'ala ).

Sedangkan 'uququl walidain (durhaka kepada orang tua) adalah, gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan "ah" atau "cis", berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah, berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak memperdulikan, tidak bersilaturahmi, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA

1. Merupakan amal yang paling utama, sesuai sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata : "Aku bertanya kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, 'Amal-amal apakah yang paling utama?".
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,"Shalat pada waktunya." (Dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktu).
Aku bertanya lagi : "Kemudian setelah itu apa?"
Nabi menjawab,"Berbakti kepada kedua orang tua."
Aku bertanya lagi,"Kemudian apa?"
Nabi menjawab,"Jihad di jalan Allah."
(HR Bukhari, I/134; Muslim, no. 85; Nasa-i, 1/351, 409, 410, 439)

2. Ridha Allah bergantung kepada ridha orang tua, sesuai sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Dari Abdillah bin Amr bin Ash radhiallâhu'anhu,
bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
"Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua, dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua"

(HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 2 ; Ibnu Hibban, 2026-Mawarid; Tirmidzi, 1900; Hakim, 4/151-152)

3. Berbakti kepada orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami, yaitu dengan cara bertawasul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah, hadits riwayat Ibnu 'Umar z mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorang bertawasul dengan bakti kepada ibu bapaknya.

Haditsnya sebagai berikut :

Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua. Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain : "Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan".

Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawasul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata : "Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia, sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing. Ketika pulang ke rumah, aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah, sehingga pulang sudah larut malam, dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang, lalu aku mendatangi keduanya, namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapapun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah pintu gua ini".

Maka batu yang menutupi pintu gua itupun bergeser sedikit, namun mereka belum bisa keluar ……

(HR Bukhari dalam Fathul Bari, 4/449, no. 2272; Muslim, 2473, 100 dari sahabat Ibnu Umar radhiallâhu'anhu).

4. Akan diluaskan rizki dan dipanjangkan umur kita, sesuai sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Barangsiapa yang ingin diluaskan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.
(HR Bukhari, no. 5985, 5986; Muslim, 2557; Abu Dawud, 1693, dari sahabat Anas bin Malik radhiallâhu'anhu)

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering ziarah (berkunjung) kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang tuanya.

Sesulit apapun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya, insya Allah akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.

5. Akan dimasukkan surga (jannah) oleh Allâh Ta'ala .

Dosa-dosa yang Allâh Ta'ala segerakan adzabnya di dunia, di antaranya adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allâh Ta'ala .

BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA

1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.

2. Berkata "ah" dan tidak memenuhi panggilan orang tua.

3. Membentak atau menghardik orang tua.

4. Bakhil atau kikir, tidak mengurusi orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurusi orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkahpun, dilakukan dengan penuh perhitungan.

5. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, megatakan bodoh, "kolot" dan lain-lain.

6. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan.

Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih.

7. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak, atau mencemarkan nama baik orang tua.

8. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.

9. Lebih mentaati istri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na'udzubillah.

10. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikapsemacam itu adalah sikapyang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

1. Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik

Di dalam hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam disebutkan, bahwa memberi kegembiraan kepada seorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada kedua orang tua kita.

2. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut

Hendaknya dibedakan adab berbicara antara kepada kedua orang tua dengan kepada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara kepada kedua orang tua hendaknya dengan perkataan yang mulia.

3. Tawadhu` (rendah diri)

Tidak boleh kibr (sombong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, pakaian oleh orang tua.

4. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua

Pada hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu, berikanlah harta itu kepada kedua orang tua ketika mereka meminta ataupun tidak.

5. Mendoakan kedua orang tua

……Wahai, Rabb-ku. Kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.
(QS Al Isra' 24)

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid'ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan, agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah.

Bagaimanapun, syirik dan bid'ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah-lembut dan kesabaran. Sambil terus berdoa siang dan malam, agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.

Apabila kedua orang tua telah meninggal, maka yang pertama kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allâh Ta'ala dengan taubat nasuha (benar), bila kita pernah berbuat durhaka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup. Yang kedua, yaitu menshalatkannya. Ketiga, selalu memintakan ampunan untuk keduanya. Keempat, membayarkan hutang-hutangnya. Kelima, melaksanakan wasiat sesuai dengan syariat. Keenam, menyambung tali silaturahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.

Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita dimudahkan oleh Allâh Ta'ala dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Semoga salam dan shalawat Allah curahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Akhir dakwah kami,alhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Diangkat dari: Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Yazid Abdul Qadir Jawas, Cet. Pertama, Syawal 1423H/Desember 2002, Pustaka at Taqwa, Bogor, Jawa Barat)

(Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M)

9 Mei 2011

Sakinah, Mawaddah dan Rahmah

Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari'atkan.

Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah." (al-Furqan:54).

Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.

Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan keji.

Kita melihat bagaimana al-Qur'an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.

Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar." Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (al-A'raf:189).

Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi."(an-Nisa`:3)

Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur'an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur'an, yaitu:
"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (al-Baqarah:187)

Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah

Al-Qur'an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (ar-Rum:21)

Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.

Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata "Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.

Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:

Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, "Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:
Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ' (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak).
Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-'Uyûn)

Ibn Katsir berkata, "Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya" (Tafsir Ibn Katsir)

Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, "dari jenismu sendiri." Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).

Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.

Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu 'lembaga' yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."

Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.

Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah."

Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.

Sumber: Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany. (Abu Hafshah)

2 Mei 2011

Memilih Istri yang Tepat

Allah berfirman:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (An-Nur: 32).

Hendaknya seseorang memilih isteri shalihah dengan syarat-syarat sebagai berikut:

"Wanita itu dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaknya engkau utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) niscaya kedua tanganmu akan berdebu (miskin, merana)".
Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 9/132.

"Dunia semuanya adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalihah''.
Hadits riwayat Muslim (1468), cet. Abdul Baqi; dan riwayat An-Nasa'i dari Ibnu Amr, Shahihul Jami', hadits no.3407

"Hendaklah salah seorang dari kamu memiliki hati yang bersyukur, lisan yang selalu dzikir dan isteri beriman yang menolongnya dalam persoalan akhirat".
Hadits riwayat Ahmad (5/282), At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Tsauban, Shahihul Jami', hadits no. 5231

Dalam riwayat lain disebutkan :

"Dan isteri shalihah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah sebaik-baik (harta) yang disimpan manusia".
Hadits riwayat Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dari Abu Umamah. Lihat Shahihul Jami', hadits no. 4285

"Kawinilah perempuan yang penuh cinta dan yang subur peranakannya. Sesungguhnya aku membanggakan dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari Kiamat."
Hadits riwayat Imam Ahmad (3/245), dari Anas. Dikatakan dalam Irwa 'ul Ghalil, "Hadits ini shahih", 6/195

"(Nikahilah) gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih banyak keturunannya, lebih manis tutur katanya dan lebih menerima dengan sedikit (qana'ah)".
Hadits riwayat lbnu Majah, No. 1861 dan alam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits No. 623

Dalam riwayat lain disebutkan : "Lebih sedikit tipu dayanya".
Sebagaimana wanita shalihah adalah salah satu dari empat sebab kebahagiaan maka sebaliknya wanita yang tidak shalihah adalah salah satu dari empat penyebab sengsara. Seperti tersebut dalam hadits shahih:

"Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalihah, engkau memandangnya lalu engkau kagum dengannya, dan engkau pergi daripadanya tetapi engkau merasa aman dengan dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia mengungkapkan kata-kata kotor kepadamu, dan jika engkau pergi daripadanya engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu"
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan lainnya, dalam As-Silsilah Ash- Shahihah, hadits no. 282

Sebaliknya, perlu memperhatikan dengan seksama keadaan orang yang meminang wanita muslimah tersebut, baru mengabulkannya setelah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

"Jika datang kepadamu seseorang yang engkau rela terhadap akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar".
Hadits riwayat Ibnu Majah 1967, dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits no. 1022

Hal-hal di atas perlu dilakukan dengan misalnya bertanya, melakukan penelitian, mencari informasi dan sumber-sumber berita terpercaya agar tidak merusak dan menghancurkan rumah tangga yang bersangkutan."

Laki-laki shalih dengan wanita shalihah akan mampu membangun rumah tangga yang baik, sebab negeri yang baik akan keluar tanamannya dengan izin Tuhannya, sedang negeri yang buruk tidak akan keluar tanaman daripadanya kecuali dengan susah payah.

Kajian.Net
Koleksi Ceramah Islam MP3